Penulis: Mahyuddin, M.A (Dosen Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah)
Berabad yang lalu, tepatnya tanggal 2 Mei 1889, adalah Ki Hadjar Dewantara sang pahlawan pendidikan republik ini terlahir. Pikiran-pikirannya tentang pendidikan yang tak lekang oleh waktu, dan semangat merawat perikehidupan yang berkeadilan melalui pendidikan masih terus terjaga hingga hari ini. Maka tidaklah berlebihan jika pemerintah telah memilih hari pendidikan nasional bertepatan dengan hari lahir beliau sebagai penghormatan atas perjuangannya.
Hari ini 2 Mei 2019, kita kembali mengenang gagasan dan cita-cita luhur perjuangan Ki Hadjar Dewantara di mana pemerintah kembali memperingati hari pendidikan nasional (Hardiknas). Melalui Hardiknas pemerintah tidak hanya mengusahakan perbaikan kondisi pendidikan bangsa, tetapi juga memastikan pengajaran bagi seluruh anak bangsa terpenuhi dengan baik. Ini terlihat pada tema yang diusung Menteri Pendidikan tahun ini, yakni “Menguatkan Pendidikan, Memajukan Kebudayaan”. Tersirat dengan jelas bahwa pemerintah kita masih terus berupaya bagaimana menjaga marwah pendidikan dan kebudayaan sebagai aset terbesar bangsa untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Sejalan dengan tema tersebut, kita tentu saja mendukung upaya-upaya perbaikan yang akan dilakukan pemerintah. Terobosan-terobosan melalui kebijakan perbaikan kualitas pendidikan adalah hal yang selalu ditunggu-tunggu seluruh pemerhati pendidikan termasuk para pelaku (pendidik) di dalam lembaga pendidikan hari ini. Betapa tidak, kondisi pendidikan kita di lapangan kadang kala tidak seindah yang terpikirkan, bahkan sering kali mengecewakan.
Krisis Budaya Penghormatan terhadap Pendidik
Hal merisaukan yang sering kali didapati oleh para pendidik di abad ini adalah budaya penghormatan terhadap pendidik tidak lagi seperti dulu. Sering kita dapati para pendidik diperlakukan tidak sepatutnya, di mana “adab” seolah hilang dalam marwah pendidikan kita. Tentu kita tidak menafikan bahwa masih banyak pendidik di luar sana yang dimuliakan, namun tidak jarang juga kita mendapati pendidik tidak lagi dihormati dan dihargai di dalam kondisi-kondisi tertentu.
Ada begitu banyak sederetan peristiwa yang dialami oleh para pendidik, baik dosen maupun guru. Sebut saja siswa/mahasiswa tak malu mengejek guru/dosennya, mencemooh para pengajarnya. Bahkan tindakan paling menyayat hati adalah peserta didik menzalimi guru/dosennya sendiri.
Krisis semacam ini sudah lumrah kita dapati dalam kehidupan sehari-hari. Contoh kasus, berapa banyak guru-guru kita yang mengalami kekerasan oleh siswanya sendiri. Tengoklah Nur Halim, guru honorer di salah satu lembaga pendidikan swasta di Pulau Jawa ini viral di media sebab dirinya dilecehkan muridnya di kelas. Siswanya menantang dan melawan gurunya sambil diselingi tawa. Dan ironinya, para siswa tampak menikmati aksi tidak terpuji tersebut.
Inilah petaka moral yang sering kali dialami para guru-guru kita tatkala menunaikan tugas dan tanggung jawabnya di ruang-ruang kelas. Di mana-mana guru serasa sulit membendung krisis moralitas ini. Banyak guru-guru yang kemudian merasa terusik kedamaiaannya di lembaga pendidikan lantaran kebrutalan yang dialaminya, oleh siswanya sendiri.
Dilema Undang-Undang Perlindungan Anak
Di dalam zaman peralihan ini, hal lain yang membingungkan bagi para guru adalah lahirnya undang-undang perlindungan anak. Banyak guru-guru kita yang tak lagi ikhlas batinnya dan merdeka pikirannya dalam memberi pengajaran lantaran aturan-aturan yang mengekang mereka dalam mendidik. Di satu pihak, dengan dalih menjaga peserta didik untuk terhindar dari kekerasan, tetapi dalam penerapannya undang-undang ini justru melemahkan posisi para guru.
Ini seolah berbanding terbalik dengan cita-cita anti kekerasan terhadap anak. Betapa tidak, banyak kasus remeh temeh ataupun sepele yang berakhir dengan dipenjarakannya pahlawan tanpa tanda jasa ini. Masih terngiang di ingatan, salah seorang guru di SMPN 3 Bantaeng, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan harus berakhir di penjara hanya karena menertibkan siswanya yang ribut sewaktu shalat. Maksud hati ingin mendidik para siswa, malah dilaporkan ke polisi oleh orang tua siswa.
Inilah kondisi-kondisi amat berat yang dijalani para pendidik generasi bangsa kita. Di saat mereka ikhlas memberi bekal intelektual dan mental kepada siswa, justru ketidakadilan yang mereka dapatkan. Masih sempatkah kita merenungkan peristiwa-peristiwa tak beradab ini?
Kembali Memuliakan Pendidik
Memuliakan pendidik adalah cara jitu menguatkan pendidikan dan memajukan kebudayaan kita saya kira. Meski tidaklah mudah untuk mengubah sistuasi ini tetapi paling tidak ada upaya serius mencarikan jalan keluar kerisauan-kerisauan yang dialami oleh para pendidik. Di sini wajib hukumnya kultur keadaban terhadap pendidik dihidupkan kembali sebab merekalah benteng penjaga tonggak-tonggak peradaban bangsa. Dan di tangan merekalah masa depan generasi bangsa ini kita titipkan.
Dengan demikian, sesungguhnya yang kita inginkan melalui momentum Hardiknas kali ini adalah para pemangku kebijakan pendidikan mampu menangkap “gejala-gejala abnormal” di atas. Amatlah disayangkan ketika keadaan pendidikan yang seharusnya menjunjung humanisasi justru melahirkan dehumanisasi meminjam istilah Paulo Freire. Untuk itu, sudah saatnya pemerintah menemukan kembali harkat kemanusiaan pendidik yang mulai hilang. Selamat Hari Pendidikan Nasional.