Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

"Monster" dan "Mood Booster" Mahasiswa Internasional di IAIN Parepare

Jumat, 26 Juni 2020 | 6/26/2020 07:57:00 AM WIB | 0 Views Last Updated 2020-06-26T00:01:40Z

Rahmiah Rahman
Mahasiswi Prodi BKI IAIN Parepare

Sebagai salah satu sarana belajar dan bersosialisaisi, kampus tentu menjadi tempat yang dituju bagi siapapun yang ingin menempa daya saing disertai pemahaman teori yang relevan terhadap berbagai realitas polemik yang terjadi. Fakta bahwa manusia adalah makhluk sosial menjadikan manusia harus selalu melakukan interaksi kepada sesamanya yang didasari oleh adanya keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain disekelilingnya dan menjadi satu dengan suasana alam disekelilingnya  ( Soekanto, 1990 ).

            Menjadi mahasiswa baru tentu sudah menjadikan “kewajiban” untuk melakukan penyesuaian diri. Perubahan lingkungan yang begitu drastis dari dunia sekolah menuju dunia kampus membuat mahasiswa baru harus mampu meyesuaikan diri untuk mengatasi tekanan lingkungan dan hambatan yang terjadi. Ditambah fakta bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang menunjukan bahwa bagaimanapun dan apapun keadaannya, manusia memang selalu “saling” bukan “masing-masing”.

            Tahun pertama perkuliahan menjadi periode transisi yang sangat penting. Dimasa tersebutlah mahasiswa membangun pondasi yang selanjutnya akan sangat menunjang keberhasilan akademik yang ditempuh. Pergaulan yang dilakukan akan membentuk keburukan atau kebaikan dan mempengaruhi cara pandang dan pola pikir.

            Masalah yang dijumpai sebagai mahasiswa baru pun tentu sangat beragam.  Dari masalah akademik hingga non-akademik. Masalah akademik yang yang sering dialami oleh para mahasiswa baru umumnya terkait dengan proses pembelajaran yang berbeda di sekolah dan di kampus, materi pelajaran yang sulit, menurunnya nilai IPK, hingga perasaan “salah jurusan”. Selain masalah akademik, masalah lainnya yang dialami selama proses penyesuaian yaitu masalah dengan lingkungan sosial di perguruan tinggi ( Nurfitriana, 2016).

Dengan berbagai hal baru tersebut, diperlukan kesiapan psikologis maupun sosial agar para mahasiswa baru dapat menyesuaian diri dengan baik. Penyesuaian diri ini menuntut kemampuan mahasiswa untuk dapat hidup dan bergaul secara wajar  terhadap lingkungannya ( Wills and Sofyan, 2005 ). Seseorang yang mengalami kesulitan dalam meyesuaiakan diri khususnya dalam dunia kampus, tentu sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosial diingkungannya bahkan membuat mahasiswa berhenti kuliah karena ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri.

            Berdasarkan berbagai macam persoalan dan polemik yang penulis uraikan di atas, tentu tidak jauh berbeda dengan yang dirasakan mahasiswa internasional. Sebab keinginan untuk mendapatkan universitas terbaik biasanya tidak di dapatkan di tempat sendiri,kota sendiri, bahkan negara senidiri. Demikian prinsip yang banyak diamini mahasiswa yang lebih memilih mendaftar diperguruan tinggi diluar daerah hingga di luar negri.

Memperoleh pendidikan tinggi yang berkualitas, melengkapi diri sebagai alumni yang bertaraf internasional, membangun relasi multicultural terhadap mahasiswa domestic, ataupun mendapat keterampilan yang sangat vital berbasis pengetahuan saat ini menjadi hasrat dasar tujuan mahasiswa internasional yang telah dikemukakan oleh Pandian pada tahun 2008. Sebab apapun motifnya, menjadi mahasiswa international membawa perubahan yang cukup penting dan tentu menyisakan banyak cerita berbeda dari mahasiswa biasa paada umumnya.

Layaknya mahasiswa baru, mahasiswa international telah menghadapi tantangan dalam penyesuaian untuk hidup dan belajar pada lingkungan yang baru. Hal yang berbeda dari mahasiswa intenational dalam penyesuaian dirinya adalah masalah semantik ( bahasa ), makanan, tempat tinggal, budaya, dan kehidupan sehari-hari yang tampak luar biasa pada awalnya. Akhirnya diantara perubahan-perubahan besar ini menimbulkan semacam gegar budaya atau suatu budaya yang disebut sebagai ‘culture schock’ oleh Redden 1957. Suatu istilah yang menggambarkan emosi negatif yang dialami oleh individu yang dapat ditujukan seperti individu yang kebingungan dalam berhubungan dengan lingkungannya.

Tugas besar bagi mahasiswa international untuk menuju well adjusted person. Dimana istilah ini digambarkan pada individu yang  mempunyai penyesuaian diri yang baik, yaitu jika seseorang mampu menunjukan respons yang matang, efisien, memuaskan dan sehat terhdap rangsangan atau stimulus dari dalam diri maupun lingkungan sosial. Efisien yang dimaksud adalah menghemat tenaga dan waktu dalam melakukan respons terhadap stimulus yang diberikan  dan ketepatan dalam melakukan respon. Memuaskan yang dimaksud adalah respon yang dilakukan adalah bermanfaat lebih baik dengan individu dan orang lain di dalam lingkungan sosialnya. Sehat diartikan bahwa segala bentuk respon yang ditujukan harus sesuai dengan akal sehat, sesuai denga hakekat individu, lembaga, kelompok antarindividu, dan hubungan antar individu dengan penciptanya. Bahkan dapat dideskripsikan bahwa sifat sehat dalam melakukan respon inn adalah gambaran karakteristik yang paling menonjol untuk menunjukan atau menentukan bahwa suatu penyesuaian diri ( personal adjustment ) itu dikatakan baik ( well adjustment ), demikian yang dikemukakan Mohammad Ali dalam tulisannya.

Namun maladjustment ( penyesuaian diri yang kurang baik ) tentu adalah hal yang dialami mahasiswaa international berdasarkan hal-hal yang menjadi penghambat mereka sesuai yang diuraikan penulis di atas. Timbulnya maladjustment dikarenakan penyesuaian pribadi yang kurang atau penyesuaian sosial yang tidak optimal. Bahkan disebabkan oleh kedua penyesuaian yang kurang baik yaitu penyesuain pribadi dan sosial.

 Sebanyak 6 orang mahasiswi berasal dari Thailand telah banyak mengalami penyesuaian diri sejak mendaftar di tahun 2017 lalu. Mereka telah belajar banyak bersama ‘diri’ dan orang baru disekelilingnya. Selain karena kondisi geografis yang berbeda, kondisi lingkungan dan segala yang serba baru menjadi hal yang “wajib” untuk mereka terima sebagai “konsekuensi” menjadi mahasiswa international. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis beberapa bulan yang lalu, mahasiswi Thailand menceritakan apa saja hal ‘baru’ menurutnya. Mulai dari budaya Islam yang sedikit berbeda ditempat mereka sebelumnya, menu makanan yang kian beragam, semantik ( bahasa ) yang tentunya “memaksa” mereka menggunakan bahasa yang mudah dipahami dalam hal ini mereka menggunakan  bahasa melayu untuuk membangun komunikasi multicultural terhadap mahasiswa domestik.

Selain itu, tekanan yang dihadapi selama proses perkuliahan dimana mereka harus mengerjakan tugas menggunakan bahasa Indonesia yang baku sehingga membuat mereka harus lebih banyak belajar dengan mahasiswa Indonesia untuk menyelesaikan. Belum lagi tantangan mindset orang-orang tentang mahasiswa international yang pasti fasih dalam berbahasa Inggris juga menjadi hal yang cukup menganggu mereka selama melakukan aktivitas komunikasi. Bahkan salah satu dari mereka ingin pindah jurusan karena merasa salah dan tidak cocok dengan jurusan yang telah mereka pilih.         

Walaupun begitu, mereka tetap menghadapinya hingga semester awal berakhir kemudian beranjak pada semester-smester berikutnya. Urgensi penyesuaian diri untuk mampu menghadapi berbagai tekanan dan menjadi nyaman dalam segala keadaan yang serba baru, sangat berguna bagi pengembangan perilaku dan pola pikir bagi mahasiswa international untuk menciptakan hubungan sosial yang baik. Dalam mengembangkan penyesuaian diri yang baik tentu perlu bantuan untuk mengatasi penyesuaian personal dan sosial yaitu salah satunya dengan pelayanan bimbingan dan konseling.

Seperti yang diterangkan dalam pertemuan pertama jurusan bimbingan dan konseling bahwa bimbingan merupakan proses penberian bantuan kepada individu untuk mengembangkan dirinya yang bersifat pencegahan terhadap perasalahan yang akan terjadi. Adapun konseling, proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli ( konselor ) kepada konseli dengan prosedur dan teknik yang tepat sehinga yang dilakukan dapat bermuara pada teratasinya masalah konseli serta mampu memberdayakan dirinya untuk menyelesaikan masalah kedepannya sendiri.

Salah satu teori konseling yang sejalan  untuk mengembangkan penyesuaian diri ( well adjusted person ) adalah dengan menjejali teori konseling tingkah laku ( behavioral counseling ) pada mahasiswa intenasional untuk mengefektifkan penyesuaian diri dan meminimalisir  tingkah laku maladjustment yang dialami.

Teori ini berfokus pada tingkah laku ini cukup luas cakupannya. Seringkali seseorang mengalami kesulitan karena tingkah laku yang kurang atau berlebihan dari kelaziman. Teori ini mempelajari cara bertindak yang baru dan tepat, atau membantu  mengubah atau menghilangkan tindakan yang berlebihan. Pada kasus semacam itu, tingkah laku adaptif menggantikan tingkah laku mal-adaptif. Tingkah laku merasa terhambat, tertekan bagi mahasiswa internasional akan berubah menjadi bentuk penyesuaian yang justru membawa pada rasa senang dan percaya diri.

Sehingga dapat dikatakan bahwa untuk menuju pada apa yang dijalani para mahasiswi Thailand saat ini adalah tidak jauh dari teori konseling tingkah laku ini, walaupun belum sepenuhnya diaplikasikan sebagai konseling namun ini terbilang sebagai bimbingan yang dapat diistilahkan ‘doing before knowing’. Mengaplikasikan tanpa mengetahui teori akan kurang maksimal dan tidak akan berimbang.

Selain menjadi salah satu topik pembahasan yang cukup urgent di dunia konseling, penyesuaian diri juga tentu tercakup dalam pedoman kita dalam ber-Islam, yakni Alquran dan as-sunnah. Disebutkan dalam firman Allah SWT Q.S Al-Isra:15 yang artinya :

Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri, dan barang siapa yang sesat, maka  dia tersesat bagi (kerugiannya) sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa yang lain, dan kami tidak mengazab sebelum kami mengutus seorang Rasul.”

Kandungan surah al – Isra : 15 bahwa Allah Swt telah menerangkan dan mengingatkan kepada hamba-Nya yang pertama untuk menyelelamatkan drinya sendiri sesuai dengan hidayah yang telah ditunjukan oleh Allah Swt, sedangkan yang kedua untuk mengingatkan kepada hamba- Nya bahwa seseorang yang telah melakukan dan memilih jalan yang sesat akan menimbulkan kerugian bagi dirinya sendiri. Hal ini terkait dengan proses penyesuaian diri yang telah dilakukan manusia , bahwa dimanapun ia berada dituntut menyesuaikan dimanapun ia berada. Sehingga individu akan memperoleh ketenangan dimasa yang akan datang (Depag RI, 2010).

Allah SWT tidak akan mempersulit hamba-Nya dalam aktivitas sehari- hari, kecuali manusia yang menyulitkan dirinya sendiri dengan meninggalkan perintah-Nya dan melakukan larangan-Nya. Namun manusia mampu untuk berusaha dan berdoa untuk mencapai tujuan dan impian yang telah diharapkan.

Sehingga, dalam beradaptasi dengan lingkungan perkuliahan, para mahasiswa  internasional saat ini harus lebih sering berkomunikasi, bersikap terbuka, kooperatif serta menjalani dengan positif (husnudzon) segala hal yang terjadi. Bertanya dengan meminta nasihat atau sebisa mungkin untuk mendayagunakan teknologi untuk menemukan tips-tips dalam menghadapi lingkunngan baru. Sebab semakin baik penyesuaian diri seseorang maka semakin baik pula dia menyikapi segala hal baru yang dihadapinya. Semakin individu professional dalam bertingkah laku menjawab segala polemic dan tekanan yang datang. Dengan penyesuaian diri, anggapan ‘monster’ sebelumnya berangsrangsur menjadi mood booster khususnya bagi mahasiswa inteernasional yang tentunya dibarengi dengan teori dan pengaplikasian yang mumpuni sehingga dalam gerakan realisasinya lebih efektif. Secara implisit  tergambar bahwa pelayanan bimbingan dan konseling memiliki peran penting hingga saat ini. Selain bahan refleksi untuk konselor juga menjadi rujukan bagi siapa saja yang tak berujung dalam penyelesaian masalahnya.

×
Berita Terbaru Update