Kaprodi Bimbingan Konseling Islam IAIN Parepare
bismillahi wa bihamdihi
Jangankan kaum Arab jahiliyah waktu itu, kita pun secara logika, terkadang mempertanyakan Standar Operating Procedure (SOP) Isra' dan Mi'raj. Artikel sederhana ini sekadar menawarkan sebuah sudut pandang atas pembacaan kisahnya.
Dalam dunia dimensi, saat ini setidaknya kita mengenal 1, 2 dan 3 dimensi (yang populer sekarang adalah 3D - tiga dimensi). Dan dalam memaknai realitas semesta, kita tidak bisa begitu saja berhenti pada konsep itu. Terkadang memang kita biasanya menilai segala sesuatu dengan nilai empiris (inderawi). Banyak hal yang supra dan meta seringkali diabaikan dalam renungan kita. Kita biasanya hanya mampu meyakini dan mengambil hikmah.
Berapa jumlah dimensi? Jika langit itu diyakini berjumlah 7 lapis, sebagaimana informasi al-Qur'an, maka saya menduga batas maksimal dimensi dalam dunia 'manusia' adalah 7. Misalnya begini, bahwa jin itu berada pada dimensi 4, Setan dkk di dimensi 5, Malaikat di dimensi 6, dan dimensi 7 adalah sesuatu yg sangat tinggi, katakanlah Sidrat al-Muntaha.
Jika menyimak kisah Isra', maka kita pun akan diajak berfikir, medium kecepatan apa yg digunakan Jibril mengajak Muhammad Saw menjumpai Tuhan dalam kendaraan canggih bernama Bouraq itu? Kecepatan cahaya, atau kecepatan transfer (berapa tera, teta,peta byte per second)?
Jika dianalogi, prosesi isra' Mi'raj itu seperti berganti zat, -sebuah transformasi dari materi menuju in-materi (energi)- maka manusia dapat terlepas dari “materi-nya'. Ia dapat kembali pada wujud esensialnya yaitu ruhiyah, dan ia pun mampu menjumpai Tuhannya.
Manusia tak perlu terbang atau migrasi menembus langit untuk “bertemu” Tuhannya. Dengan akumulasi “ketaqwaan-nya” ia akan mampu bertransformasi menjadi energi yang sangat available untuk bergonta-ganti frekuensi dalam multi-dimensi. Dan terkadang kita mendengar cerita orang yang mampu berdialog dengan jin, Umar bisa memergoki Setan yang mau mencuri harta baitul mal, Nabi Saw berdakwah kepada Jin, dll..
Dalam teologi aswaja, kita yakini bahwa Nabi Muhammad saw, melakukan perjalanan ini secara ruh dan jasad. Untuk mendiskusikanya lebih lanjut, mari beranalogi, bahwa secara fisik, Nabi tidak meninggalkan rumahnya pada malam yang mulia itu. Hanya semalam, perjalanan round-trip (pulang pergi), Mekah-Palestina-Langit-Mekah. Hampir tidak mungkin secara fisik (materi). Ia hanya di-transformasi (asra) dalam bentuk energi dan “di-transfer” (mi’raj) dari frekuensi materi hingga ke frekuensi ilahi. Dimana pada level itu (Sidratul Muntaha), Jibril pun tidak bisa ikut masuk, hanya mampu mengantar sampai gerbang.
...
Seorang sahabat pernah mengkaji tentang teori gelombang perspektif pemikiran Islam. Ia menyatakan bahwa gelombang memiliki bentuk derivasi (turunan). Gelombang cahaya, misalnya. Dari bentuk yg paling terang hingga yangg paling redup bahkan gelap gulita. Malaikat, Jin, bahkan iblis adalah bagian dari derivasi itu. Sedangkan manusia, pada hakikatnya berasal dari cahaya yg paling terang itu (lebih lengkap baca teori emanasi “al-faydl”-nya al-Farabi dan Ibn Sina). Dan Jibril pun, tidak bisa menjumpai Tuhan secara langsung di Sidratul Muntaha. Karena levelnya cukup sampai di gerbang saja. (Lebih jelasnya, silakan baca buku “engkau hanyalah Jibril, akulah Muhammad”).
Dalam teori lainnya, Einstein menyebutkan bahwa sebuah materi yang mengalami percepatan dalam sebuah medium yang bergerak hingga pada level kecepatan tertentu, maka ia akan berubah menjadi energi. Hingga, manusia sekalipun bisa berubah menjadi energi.
...
Sejatinya, ketika manusia yang sebagai tempat bertemunya antara ruh (esensi cahaya Tuhan) dengan materi (tanah), dengan beramal shalih (menyamakan frekuensi dengan sumbernya), maka ia akan kembali kepada bentuk aslinya yaitu cahaya. Namun, jika berbuat fahsya’ dan munkar, maka ia lebih identik dengan bentuk materinya, dan cahanya akan meredup, bahkan pada level asfala saafiliin (tempat serendah-rendahnya).
Nabi Muhammad Saw mengajarkan kita tentang nilai transformasi ideal seorang manusia dengan peristiwa mulia ini. Dan bingkisan “oleh-oleh langit” dari perjalanan semalam itu diantaranya adalah PERINTAH SHALAT.
Shalat adalah sebuah medium dimana manusia melatih diri untuk menyamakan frekuensi ilahi secara kontinyu. Pada level tertentu, bahkan Ali bin Abi Thalib pun tidak merasakan sakit ketika panah dicabut dari punggungnya. Ia khusyu' dalam shalatnya. Bisa jadi, ruhnya telah se-frekuensi dengan cahaya Tuhan, hingga “materi-nya” tidak berpengaruh apa-apa. Shalat adalah mi'raj kaum beriman (Hadits). Ketika ia mi'raj (transenden, melebur ruhaninya dengan Pencipta), apalah arti sakit dan derita itu.
“Shalatlah, seakan-akan kalian melihat Tuhan di hadapanmu” (Hadits). Sedemikian tinggi makna shalat yang tidak hanya sekedar ritual kita. Dan ibadah yg pertama kali di-kalkulasi para malaikat kelak di akhirat adalah shalat. Jika shalatnya baik, maka amal ibadahnya yg lain ikut baik. Jika shalatnya buruk, maka demikian juga amal yang lainnya.
Sesungguhnya shalat dapat mencegah fahsya’ dan munkar (QS. Al-Ankabut:45). Dalam pandangan al-Qurthuby, fahsya’ adalah segala ucapan dan perbuatan yang buruk. Sedangkan munkar merupakan segala sesuatu yang dilarang Tuhan. Karena keduanya memiliki konsekuensi logis dengan kemanusiaan dan kehidupan.
Dus, Isra' Mi'raj bukanlah sekadar dongeng tentang canggihnya kendaraan Bouraq dengan kecepatan cahaya itu. Isra’ Mi’raj bukanlah sekadar keajaiban (mukjizat) dari Tuhan. Tapi, peristiwa ini untuk menggugah kesadaran kemanusiaan. Manusia tidak ada apa-apanya di hadapan Sang Maha. Maka dengan shalat sebagai bingkisan “oleh-oleh” Isra’ Mi’raj Sang Nabi, sebagai media agar manusia terus belajar dan belajar menyamakan frekuensi ruh kita dengan Sang Pencipta.
...
Dengan shalat yang fokus dan konsentrasi (khusyu'), mari kita senantiasa melakukan sinkronisasi pada frekuensi Ilahi.
Selamat memperingati Isra’ Mi’raj.
Wa ma taufiqy illa billah..
Parepare, 27 Rajab 1441 H.
mh