Dosen Prodi Bimbingan dan Konseling Islam IAIN Parepare
Ada yang menarik sekaligus mencengangkan dari kasus covid-19 outbreak di Cina. Kabar bahagia
bahwa angka pasien yang terjangkit virus telah menurun drastis serta masa
karantina wilayah yang telah berakhir membuat kehidupan mulai kembali normal.
Namun, di sisi lain sungguh sangat menyedihkan melihat laporan dari media massa
bahwa angka perceraian meningkat pesat pada awal bulan maret 2020 bersamaan
berakhirnya masa karantina wilayah di sana. Tiga kota di Cina yang dilaporkan
memiliki angka pengajuan perceraian tertinggi yaitu Kota Xian, Dazhou, dan
Miluo. Selain itu, angka kekerasan dalam rumah tangga juga meningkat pesat.
Salah seorang polisi di Provinsi Hubei Tengah melaporkan 162 kasus KDRT selama
bulan februari (Dikutip dari laman ayobandung.com, 3/4/2020).
Lockdown atau karantina wilayah mengharuskan setiap warga untuk mengisolasi
diri di rumah dan mengurangi aktivitas di luar rumah. Pandemic covid-19 ini
menghadirkan kebiasaan-kebiasaan baru bagi masyarakat, dari social distancing hingga physical distancing. Di Indonesia social dan physical distancing
dikampanyekan dengan tagar #dirumahaja. Dengan adaya kebijakan pembatasan
sosial ini membuat sebagian besar kegiatan masyarakat berubah secara drastis,
seperti aturan berkerja dari rumah, sekolah dari rumah, kuliah daring, dan
berbagai macam aktivitas lainnya yang berfokus pada rumah. Kondisi ini tentu
saja membuat anggota keluarga secara tiba-tiba dipaksa untuk tinggal dirumah
dan beraktivitas di rumah secara bersamaan 24 jam dan dalam kurun waktu yang
belum bisa dipastikan.
Perubahan kebiasaan secara drastis ini ternyata
memiliki pengaruh pada harmonisasi rumah
tangga. Anggota keluarga yang biasanya hanya bertemu dan berinteraksi langsung
di rumah dalam waktu 6-12 jam kemudian diharuskan berada dalam satu tempat
dalam hal ini rumah selama seharian dengan beban kerja atau tugas masing-masing.
Sebagian besar juga kondisi #dirumahaja membuat para anggota keluarga khususnya
orangtua memiliki peran ganda, sebagai ibu, istri, guru bagi anak, menyiapkan
makanan, membereskan rumah, dll. Begitu pula dengan peran bapak serta anggota
keluarga lainnya. Selain itu, ketidakstabilan kondisi emosi masing-masing
anggota keluarga serta komunikasi yang kurang efektif juga akan beresiko
meningkatkan frekuensi percekcokan jika tidak dihadapi dengan bijaksana.
Salah seorang pengacara perceraain di Cina bernama
Shanghai Steve Li mengemukakan bahwa ,
“semakin banyak waktu yang mereka habiskan bersama,
semakin mereka saling membenci.”
Sangat menyedihkan jika melihat fakta yang terjadi.
Kembalinya orangtua di dalam rumah sebagai pendidik utama ke anak bukankah
sudah seperti itu harusnya. Tapi fakta di lapangan justru menunjukkan bahwa
beberapa orangtua mulai mengeluhkan beratnya beban mendampingi anak belajar. Bahkan
ramai di sosial media meme yang
menunjukkan kekhwatiran anak saat diajar oleh orangtuanya. kondisi lain
dikabarkan bahwa kebersamaan di rumah rentan memicu perbedaan pendapat antar
suami dan istri, bahkan orangtua dengan anak remajanya. Aktivitas yang hanya di
rumah saja memang sangat beresiko membuat orang merasa jenuh, bosan, mati gaya,
stress, dan berbagai perasaan negatif lainnya. Tapi, itu semua terjadi jika
rumah kita selama ini hanya sebagai tempat untuk tidur dan makan. Bukan rumah
untuk kembali pulang melepas penat. Kebosanan dan kejenuhan bersama anggota
keluarga hanya akan terjadi jika keluarga kita bukanlah keluarga yang
menyenangkan, bukan harta yang berharga seperti keluarga cemara, keluarga yang
tanpa tujuan karena tak punya visi dan misi keluarga. Perasaan-perasaan negatif
selama di rumah hanya akan terjadi jika tak ada tarbiyah keislaman dan
cita-cita akhirat untuk berkumpul di surga bersama keluarga di dalam rumah
tersebut.
Lalu, seperti apa keluarga kita saat ini? Apakah
rumah kita sudah menjadi rumah yang dirindukan? Apakah keluarga kita telah
menjadi penyejuk hati kita? Apakah sebagai orangtua telah melaksanakan tanggung
jawab pendidikannya ke anak? Apakah kebersamaan dengan keluarga sesuatu yang
sangat istimewa? Sehingga aturan #dirumahaja ibarat surga bagi kita. Atau
justru sebaliknya, rumah adalah neraka sehingga aturan #dirumahaja ini sungguh
sangat menyiksa.
Tidak heran jika himbauan #dirumahaja begitu menyiksa
bagi sebagian besar keluarga. Sebab perkembangan zaman saat ini memang menuntut
keluarga jauh dari rumahnya. Ayah dan ibu sama-sama bekerja, anak di sekolah
hingga sore hari, pekerjaan rumah higga pengasuhan bayi diserahkan ke asisten
rumah tangga. Revolusi industri yang berhasil membuat manusia seperti robot dan
budak materi serta menjauhkan dari fitrahnya sebagai abdi Allah swt. Nafsu dunia yang melalaikan manusia dari
keinginan bersama dengan keluarga di surga sebagai cita-cita hdup.
Pada keluarga lain, himbuan #dirumahaja merupakan hadiah yang sangat berharga bagi
keluarga. Anak yang merindukan kebersamaan dnegan ibu dan ayahnya. Orangtua
yang merindukan merawat langsung buah hatinya. Tanggung jawab pengasuhan yang
langsung dipegang oleh orangtuanya, dan tarbiyah keislaman serta ajaran mengaji
yang langsung didapatkan dari ayahnya sungguh sesuatu yang sangat lama
dinantikan oleh banyak keluarga karena selama ini waktunya habis tersita dengan
pekerjaan.
Saatnya menengok ke dalam diri. Apakah hadiah istimewa #dirumahaja menjadikan kita semakin akrab secara fisik dan emosi dengan keluarga atau justru sebaliknya, semakin menjauhkan hati kita dengan anggota keluarga?
Sebagaimana yang diucapkan Rachel Smith seorang
seniman Kanada yang menetap di Hongkong bahwa, “karantina rumah dan jarak
sosial mengingatkan saya betapa saya mencintai orang yang saya nikahi.”
(Ayobandung.com, 3/4/2020)
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
atas apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” (QS At Tahrim:6)